ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA
DALAM NOVEL SENGSARA MEMBAWA NIKMAT KARYA “TULIS ST. SATI”
TINJAUAN STRUKTURALISME GENETIK
Dosen Pengampuh
Dr. Sutardi, SS, M.Pd
OLEH :
Bisarul
ihsan
UNIVERSITAS
ISLAM DARUL ‘ULUM LAMONGAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA
PASCASARJANA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra
adalah suatu objek kajian yang menarik dan tidak akan ada habisnya. Hal
ini disebabkan sastra adalah sesuatu bagian yang sangat penting dan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia.
Sastra sendiri dapat diartikan sebagai suatu
bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya adalah manusia dan
kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1993:8).
Sastra dapat dibahas berdasarkan dua
hal, yaitu bentuk dan isi. Ditinjau dari bentuk, sastra adalah karangan fiksi
dan non fiksi. Apabila dikaji melalui bentuk atau cara pengungkapannya, sastra
dapat dianalisis melalui genre sastra itu sendiri, yaitu puisi, novel, dan
drama. Karya sastra juga digunakan pengarang untuk menyampaikan pikirannya
tentang sesuatu yang ada dalam realitas yang dihadapinya. Realitas ini adalah
salah satu faktor penyebab pengarang menciptakan karya, di samping unsur
imajinasi.
Novel adalah salah satu tempat penuangan renungan pengarang
terhadap kehidupan karena bahasanya yang diambil dari kehidupan pengarang
maupun pengalaman orang lain yang sampai kepada pengarang. Hal inilah yang
menjadikan novel sangat terkait dengan kehidupan nyata. Seperti halnya
kehidupan yang diceritakan dalam novel yang juga berhubungan dengan masalah kehidupan
seperti tingkah laku, sikap, dan etika pergaulan yang ditampilkan melalui gaya bahasa yang
disampaikan oleh pengarang.
Sosiologi
sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sastra merupakan pencerminan
masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema
kehidupan. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu
memberi pengaruh terhadap masyarakat. Sosiologi dapat diartikan sebagai
ilmu atau pengetahuan yang sistematis tentang kehidupan berkelompok
manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya yang secara umum
disebut masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Melihat isi
novel sengsara membawa nikmat. Maka masalah yang dapat dirumuskan sebagai bahan
analisis adalah bagaimana strukturalisme genetik dalam novel “Sengsara Membawa
Nikmat” karya Tulis St. Sati.
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penulisan ini adalah untuk mengetahui strukturalisme genetik yang ada
dalam novel “Sengsara Membawa Nikmat” karya Tulis St. Sati.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Teori Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan
sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti
bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi(logos berarti
sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan
makna, socio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti
ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi)
masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan
antarmanusia dalam masyarakat. Sastra dari akar sas (Sansekerta)
berarti mengarahkan, mengajar, member petunjuk dan intruksi. Akhiran tra berarti
alat, sarana. Jadi, sastra merupakan kumpulan alat untuk mengajar, buku
petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih
spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusatraan, artinya
kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003: 1-2).
B. Strukturalime Genetik
Goldmann (dalam Faruk, 1999: 12) menyebut teori
strukturalisme genetik merupakan sebuah struktur karya sastra, tapi
struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari
proses sejarah yang terus berlangsung, Proses strukturasi dan
destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang
bersangkutan.
Untuk
menopang teorinya tersebut Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling
bertalian satu sama lain sehingga membentuk apa yang disebutnya sabagai
strukturalisma-genetik. Kategori-kategori itu adalah fakta kemanusiaan, subjek
kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan.
1.
Konsep Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan adalah segala hasil
aktivitas atau perilaku manusia, baik yang verbal maupun fisik, yang berusaha
dipahami oleh ilmu pengetahuan (Faruk, 1999:12). Aktivitas atau perilaku
manusia harus menyesuaikan kehidupan dengan lingkungan sekitar. Individu-individu
berkumpul membentuk suatu kelompok masyarakat. Dengan kelompok masyarakat
manusia dapat memenuhi kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan.
Dengan
meminjam teori psikologi Pioget, Goldmann (dalam Faruk, 1999:13), menganggap
bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi
timbal balik yang saling bertentangan tetapi yang sekaligus saling isi-mengisi.
Oleh karena itu, fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna. Menurut
Endraswara (2003:55) semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek
kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi untuk
memodofikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasi, sehingga dalam hal
ini manusia memiliki kecenderungan untuk berperilaku alami karena harus
menyesuaikan dengan alam semesta dan lingkungannya. Oleh karenanya, fakta
kemanusiaan dapat bersifat individu atau sosial.
2.
Konsep Subjek Kolektif
Subjek kolektif
adalah kumpulan individu-individu yang membentuk satu kesatuan beserta
aktivitasnya. Goldmann (dalam Faruk, 1999:15) menspesifikasikannya sebagai
kelas sosial dalam pengertian marxis, sebab baginya kelompok itulah yang
terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah menciptakan suatu pandangan
yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah mempengaruhi
perkembangan sejarah umat manusia.
Subjek kolektif
merupakan bagian dari fakta kemanusiaan selain subjek individual. Fakta
kemanusiaan muncul karena aktivitas manusia sebagai subjek. Pengarang adalah
subjek yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya di dalam
masyarakat terdapat fakta kemanusiaan.
Karya sastra
diciptakan oleh pengarang. Dengan demikian karya sastra lebih merupakan
duplikasi fakta kemanusiaan yang telah diramu oleh pengarang. Semua gagasan
pengarang dapat dikatakan sebagai perwakilan dari kelompok sosial. Oleh sebab
itu pengkajian terhadap karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan
pengarang untuk mendapat makna yang menyeluruh. Menurut Juhl (dalam Iswanto,
2001:60) bahwa penafsiran terhadap karya sastra yang mengabaikan pengarang
sebagai pemberi makna akan sangat berbahaya, karena penafsiran tersebut akan
mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita, juga norma-norma yang dipegang
teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial tertentu.
3.
Konsep Pandangan Dunia
Goldmann juga mengembangkan konsep mengenai pandangan
dunia yang dapat terwujud dalam karya sastra dan filsafat. Menurutnya, struktur
kategoris yang merupakan kompleks menyeluruh gagasan-gagasan,
aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara
bersama-sama anggota-anggota kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya
dengan kelompok sosial yang lain disebut pandangan dunia (Faruk, 1999:12).
Goldmann (dalam
Satoto, 1986:176) menyatakan bahwa pandangan dunia ini disebut sebagai
suatu bentuk kesadaran kelompok kolektif yang menyatukan individu-individu
menjadi suatu kelompok yang memiliki identitas kolektif. Menurut Goldmann,
karya sastra, namun demikian, bukan refleksi dari suatu kesadaran kolektif yang
nyata dan ada, melainkan puncak dalam suatu level koherensi yang amat tinggi
dari kecenderungan-kecenderungan khusus bagi kelompok tertentu, suatu kesadaran
yang harus dipahami sebagai suatu realitas dinamik yang diarahkan ke satu
bentuk keseimbangan tertentu (Faruk, 1999:33). Pandangan dunia bukan merupakan
fakta empiris yang langsung, tetapi lebih merupakan struktur gagasan, aspirasi
dan perasaan yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial masyarakat.
4. Struktur karya sastra
Karya sastra mempunyai struktur yang koheren dan
terpadu. Menurut Goldmann bahwa hampir seluruh karya penelitian dipusatkan pada
elemen kesatuan, pada usaha menyingkap struktur yang koheren dan terpadu yang
mengatur semesta keseluruhan karya sastra.
5.
Konsep “Pemahaman-Penjelasan”
Goldmann menjelaskan tentang metodenya itu: untuk
bisa realistis, sosiologi harus bersifat historis; demikian juga sebaliknya,
untuk bisa ilmiah dan realistis, penelitian sejarah harus sosiologis (Damono,
1979:43). Dengan demikian, strukturalisme genetik merupakan teori alternatif untuk
menganalisis karya sastra yang antara historis dan sosiologis dapat dilakukan
secara berkaitan.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sinopsis Novel Sengsara Membawa Nikmat
Tuanku Laras, kepala desa salah satu desa di Padang, mempunyai seorang
keponakan bernama Kacak. Merasa mamaknya sebagai kepala desa yang disegani
serta tergolong keluarga kaya, Kacak tak dapat menutupi kepohangan hatinya.
Sikapnya yang angkuh dan sombong sungguh tak di sukai orang-orang di kampung
itu.
Berbeda debgan Kacak, Midun, anak sulung seorang petani biasa, justru
selalu di sukai banyak orang. Ayahnya, sungguh berbuat baik. Itulah sebabnya,
Midun belajar mengaji, sekaligus ilmu silat kepad guru mengajinya, Haji Abbas
dan Pendekar Sulatan. Kemahiaran nya dalam ilmu bela diri itu pun, sama sekali
tidak membuatnya sombong. Perilakunya tetap terpuji.
Bagi kacak, perilaku Midun itu sangat menyebalkan. Ia tak senag orang-orang
di kampungnya menyukai dan memuji tabiat pemuda miskin itu. Lalu,
dicari-carinya kesalahan Midun. Lebih dari itu, Kaxak juga mengajaknya
berkelahi. Namun dengan sabar Midun berusaha menghindari keributan. Ia meras
lebih baik mengalah daripada ribut atau berkelahi yang tidak bermanfaat itu.
Namun, kacak yabg menggap Midun sebagai musuhnya, justru menyerangnya secara
membabi-buta. Berkat ilmu silat yang dimiliki pemuda penyabar itu,
serangan-serangan Kacak selalu dapat dihindarinya. Terlalu mudah baginya
mematahkan setiap serangan orang yang sudah dirasuk amarah itu.
Ketika diketahui bahwa Midun berhasil menyelamatkan istri Kacak yang nyaris
tenggelam terbawa arus sungai, dendam Kacak makin berkobar. Ia mengangap Midun
telah melakukan perbuatan kurang ajar dan telah berani memegang wanita yang
bukan istrinya. Lalu,untuk kedua kalinya,Kacak berusaha menyerang pemuda yang
telah menyelamatkan istrinya itu. Kali ini, Midun meladeninya, dan laki-laki
tak tahudiri itu, dengan mudah dibuatnya jatuh-bangun.
Buntut peristiwa itu memaksa Midun menerima hukuman berupa keharusan
mengerjakan apa saja yang di perinyahkan Tuanku Laras. Orang yang mengawasinya
selama ia menjalani ‘’hukuman’’ itu tidak lain adalah Kacak sendiri. Pukulan
dan caci-maki keponakan kepala desa itu pun, terpaksa di terima midun dengan
pasrah.
Rupanya, Kacak sendiri belum juga puas melihat Midun masih berkeliaran di
desa itu. Ia pun bertekad untuk membunuhnya. Kemudian secara diam-diam,ia
menyuruh Lenggang, seorang pembunuh bayaran,untuk melakukan rencananya. Siasat
pun diatur. Sesuai dengan rencana, ketika Midun dan Maun,sahabatnya,mencari
warung nasi saat berlangsung pacuan kuda, Lenggang tiba-tiba menyerang Midun
dengan pisau terhunus. Beruntung,Midun dapat menggelak. Terjadilah perkelahian
yang membuat panik orang-orang di sekitarnya.Polisi kemudian datang menangkap
mereka. Setelah di periksa, Maun yang tak bersalah, diizinkan pulang.
Sebaliknya, Midun dinyatakan bersalah. Ia ditahan dan dibawa ke penjara Padang.
Kacak yang mendengar berita tersebut, merasa sangat senang. Orang yang ia
anggap musuh itu, kini mendekam di penjara.
Di penjara, Midun mengalami berbagai siksaan, baik yang dilakukan
sipir-sipir penjara, maupun sesama tahanan lainya. Belakangan , tahanan lainya
segan terhadapnya, sesudah ia berhasil membuat jagoan di penjara itu bertekuk
lutut.
Suatu hari,saat ia menyapu jalan, tugasnya sehari-hari, ia melihat seorang
gadis duduk di bawah pohon kenari. Beberapa saat setelah wanita itu pergi,
Midun melihat sebuah kalung berlian. Ia yakin, kalung itu tentu milik wanita
tadi. Segera ia menemuinya untuk mengembalikan benda berharga itu. Inilah awal
perkenalan Midun dengan Halimah, nama gadis itu.
Perkenalan mereka terus berlanjut. Midun akhirnya tahu keadaan Halimah yang
sebenarnya. Ternyata, wanita itu kini tinggal bersama ayah tirinya. Hal itu
terpaksa ia lakukan setelah ibu Halimah meninggal dunia. Ia sebenarnya ingin
meninggalkan ayah tirinya. Halimah kemudian meminta pertolongan Midun
agar membawanya kabur. Setelah Midun dinyatakan bebas, Midun segera
membawa Halimah. Berkat pertolongan Pak Karto, seorang petugas yang bekerja
sebagai pembantu penjara, Midun berhasil membawa wanita itu ke Bogor,
menemui ayah Halimah.
Dua bulan Midun tinggal bersama Halimah. Ia kemudian bermaksud
mencari pekerjaan di Jakarta. Dalam perjalanan ia berkenalan dengan orang
Arab bernama Syekh Abdullah Al-Hadramut. Mengetahui maksud Midun pergi ke
Jakarta, Syekh Abdullah memberi pinjaman uang untuk modal Midun berdagang.
Dengan modal itulah ,Midun memulai usahanya yang ternyata lambat-laun terus
mengalami kemajuan. Ketia Midun hendak mengembalikan uang pinjamannya, jumlah
yang harus di bayar ternyata sudah membengkak. Ia baru sadar jika orang Arab
itu rentenir. Tentu saja, Midun tak mau mengembalikan uang pinjamannya, dengan
jumlah yang sedemikian besar.
Namun, lintah darat itu ternyata punya akal licik. Midun harus memilih,
membayar uang pinjaman berikut bunganya atau merelakan Halimah menjadi istri
Syekh Arab yang rentenir itu. Halimah yang diperlakukan demikian oleh orang
Arab itu, tentu saja marah dan menyatakan tidak sudi menjadi istrinya.
Persoalan ini ternyata kembali harus melibaykan Midun berurusan dengan polisi.
Pengaduan orang Arab itu yang membuat midun kembali di tahan.
Lepas dari tahanan, ia bermaksud pergi ke pasar baru. Tiba-tiba ia melihat
seseorang sedang mengamuk dan hendak membunuh seorang sinyo. Tanpa pikir
panjang,Midun turun tangan dan berhasil menyelamatkan sinyo itu. Sinyo itu
kemudian membawa Midun kepada orang tuanya yang ternyata Tuan Hoofdcommissaris.
Sebagai ungkapan terima kasih, kepala komisarisitu memberi Midun pekerjaan
sebagai juru tulis. Tak lama sesudah itu, ia punmelaksanakan niatnya untuk
menikahi Halimah.
Sementara itu, karena Midun memperlihatkan prestasi yang baik dalam
pekerjaanya, ia diangkat sebagai menteri polisi Tanjuk Priok.
Suatu ketika, Midun di tugasi untuk menumpas penyelundupan di Medan. Ketika
sedang menjalani tugasnya, secara kebetulan, ia bertemu dengan Manjau, adiknya.
Dari adiknya itulah ia mendengar kabar bahwa ayahnya telah meninggal, sedangkan
harta kekayaannya yang tidak terlalu banyak itu habis untuk biaya hidup, dan
sebagian lagi diambil oleh keponakan ayahnya. Kabar ini tidak hanya membuat
Midun merasa sedih, tetapi juga membuatnya merasa terpanggil untuk kembali ke
kampung halamanya. Sekembalinya dari Medan, ia mengajukan permohonan kepada
Hoofdcommissaris agar tugasnya di pindahkan ke kampung halamnya. Permohonan itu
dikabulkan. Bahkan di tempat tugasnya yang baru, Midun diberi jabatan sebagai
Asisten Demang.
Kembalinya Midun ke kampung halamannya, tentu saja membuat Kacak yang kini
menjadi penghulu kampung, merasa serba salah. Belakangan terbukti, Kacak telah
menggelapkan uang negara. Ia pun kemudian di tangkap dan di jebloskan ke
penjara Padang. Midun kemudian hidup bahagia bersama seluruh keluargannya.
B.
Konsep Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas
atau perilaku manusia, baik yang verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami
oleh ilmu pengetahuan. Dalam novel sengsara membawa nikmat banyak sekali
fakta-fakta kemanusiaan yang diceritakan.
“Waktu Midun sampai di kantor, dari jauh sudah kelihatan olehnya Tuanku
Laras berdiri di beranda kantor. Setelah dekat Midun tidak berani melihat muka
Tuanku Laras karena dilihatnya Tuanku Laras sebagai orang hendak marah. Dengan
suara menggelegar sebab menahan marah, Tuanku Laras berkata, “Awak yang bernama
Midun?”.
“Hamba Tuanku, “Jawab
Midun.
Dari penggalan novel di atas terlihat fakta kemanusiaan yaitu
kepatuhan seorang pemuda biasa kepada seorang pemimpin. Fakta itu tidak hanya
terjadi pada tahun 30-an tapi sampai sekarang fakta itu masih lekat dengan
budaya kita, seorang yang derajatnya lebih rendah harus patuh kepada seorang
yang derajatnya lebih tinggi.
“Seharusnya saya yang akan
berkata begitu, “ujar kacak sambil mengeluarkan uang kertas 25,- dari koceknya,
lalu diberikan kepada Lenggan. Bukankah tuan-tuan membela saya, masakan saya
bukakan rahasia ini. Biarpun akan terjadi atas diri Lenggang kedua, jangan
sekali-kali nama saya disebut-sebut.........”
Penggalan diatas menggambarkan bahwa disamping kepatuhan
seseorang terhadap tuannya, seseorang juga bisa patuh dengan perintah siapa
saja asal ada uangnya.
“...................Sebab
itu nenek itu saja yang pergi ke muara mengantarkan nasi. Tetapi yang memakan
nasi itu hanya boleh dikatakan mandor Saman saja. yang dimakan Midun hanya
sisa-sisa Mandor Saman....”
Fakta kemanusiaan yang tergambar dalam penggalan di atas yaitu
dimanapun seorang tahanan selalu menjadi budak seorang mandor. hal itu juga
dialami tokoh Midun yang menjadi budak mandor Saman.
“Kacak ketakutan, warna
mukanya pucat seperti kain putih. Sepatah pun ia tidak berani menjawab
perkataan Midun itu. Segala penghulu-penghulu kepala yang lain amat heran,
karena midun sangat hormat dan merendahkan diri kepada penghulu kacak....”
Penggalan diatas menggambarkan bahwa orang bisa tunduk dan patuh kepada
seorang yang mempunyai jabatan yang lebih tinggi. itu terlihat dari penghulu
kacak yang takut kepada Midun karena Midun sudah menjadi demang. padahal dulu
midun selalu ingin disingkirkan oleh kacak.
C. Aspek
Sosial
Untuk memudahkan
penentuan kelas sosial dalam analisis ini diperlukan pemahaman terhadap kondisi
sosial yang melatarbelakangi novel ini. Dengan pemahaman terhadap kondisi
sosial tersebut diharapkan dapat menemukan struktur kelompok sosial, karena
dalam struktur kelompok sosial terdapat kelas sosial dan pandangan dunia.
Novel sengsara membawa nikmat
menceritakan tentang kelompok sosial,
hal itu tergambar dalam penggalan novel berikut :
“Benar katamu, suka hatinyalah. Tapi harus engkau
ingat pula sebaliknya. Kita ini hanya orang kebanyakan saja, tapi dia orang
bangsawan tinggi dan kemenakan raja kita di kampung ini. Tidaklah hal itu boleh
mendatangkan bahaya”.
Penggalan di atas menggambarkan adanya
kelas sosial antara orang yang biasa dan orang yang berkedudukan tinggi. orang
biasa dalam hal apapun tidak boleh melebihi orang yang berderajat tinggi.
E. Aspek Budaya
Pengarang menyalurkan reaksinya
terhadap fenomena sosial budaya dan mengeluarkan pikirannya tentang satu
peristiwa. Kehidupan sosial budaya pengarang akan memunculkan pandangan dunia
pengarang karena pandangan dunia pengarang terbentuk dari pandangan pengarang
setelah berintereaksi dengan pandangan kelompok sosial masyarakat.
‘Pada suatu malam Pak Midun berkata kepada anaknya, “Midun!
beri tahukanlah kepada kawan-kawanmu, bahwa hari Ahad yang akan datang ini kita
akan mengirik padi disawah. Begitu pula kepada pendekar Sultan dengan
murid-muridnya. Orang lain yang engkau rasa patut dipanggil, Panggillah! Sekali
ini biarlah kita memotong kambing untuk penjamu orang yang datang mengirik ke
sawah kita. Saya rasa takkan berapa bedanya menyembelih kambing dengan membeli
daging di pasar.”
Penggalan di atas menggambarkan kebudayaan yaitu
kebersamaan ketika memanen padi. Masyarakat akan bergotong royong bersama-sama
waktu musim panen tiba.
“Segala janda tuanku Laras itu, jarang yang bersuami lagi
Midun! Orang takut akan ketulahan menggantikan istri rajanya. Oleh sebab itu,
kebanyakan janda Tuanku Laras itu janda sampai tua, jarang yang bersuami lagi.”
Penggalan diatas
menggambarkan orang-orang yang tidak berani menikahi janda rajanya, karena
dipercaya akan mendatangkan bencana. kepercayaan itu sudah menjadi adat orang
bukit tinggi.
“Kedatangan saya kemari,
ialah menurut adat yang sudah dilazimkan jua. Karena mamak saya pak Midun sudah
meninggal dunia, saya sebagai seorang kemenakan dari beliau, tentu menuntut hak
kami. Sebab itu, haraplah saya, Mamak izinkan dan tunjukkan mana-mana yang
harus saya ambil harta peninggalan mamak saya.”
Penggalan diatas
menggambarkan adat kalau semua harta warisan seorang paman jatuh kepada kemenai
kan bukan jatuh kepada anak.
BAB IV
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Teori strukturalisme genetik merupakan sebuah
struktur karya sastra, tapi struktur itu bukanlah sesuatu yang statis,
melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus
berlangsung, Proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan
dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan.
Untuk menopang teorinya tersebut
Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain
sehingga membentuk apa yang disebutnya sabagai strukturalisma-genetik.
Kategori-kategori itu adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi,
pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan.
Novel sengsara membawa nikmat
menceritakan tentang seorang pemuda yang begitu patuh kepada pimpinannya.
Melalui karya sastra kita mampu melihat fenomena kehidupan masa lampau. Fakta-fakta
sosial dalam novel sengsara membawa nikmat merupakan cerminan dari kehidupan
sosial masyarakat yang terjadi, fakta tersebut dapat ditinjau dari aspek konsep
fakta kamanusiaan, aspek sosial, dan aspek budaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Faruk.
1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik
Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gama Media.
Pradopo, Rachmat Djoko dkk. 2003. Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Wahyuningtyas,
Sri dan Wijaya Heru Santoso. 2011. Sastra: Teori dan Implementasinya.
Surakarta: Yuma Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar