Kembang Menyan
Pagi di sudut kampung masih menyisakan kesunyian berselimut kabut,
mendadak ramai oleh kerumunan masyarakat yang sebagian masih berselimutkan
sarung menahan dingin yang menusuk kala subuh.
“Ini pasti ulah dukun santet”, teriak salah seorang warga dari
dalam kerumunan.
“Iya, tidak salah lagi. Ini pasti ulah dukun santet.” Teriak salah
seorang yang lain.
Kesunyian berubah menjadi gemuruh suara yang mulai tak jelas apa
yang mereka bicarakan, bisik-bisik dengan suara lirih silih pendapat yang tak
bisa ku mengerti, seperti kode rahasia yang hanya bisa dipahami orang dewasa.
Suasana tiba-tiba semakin mencekam seiring dengan suara jeritan
tangis yang menyayat membelah kabut yang menghentak sang fajar untuk
menampakkan sinar binarnya. Suara wanita paruh baya itu semakin menjadi,
sekerumunan warga yang sedari tadi tak henti membicarakan sebungkus kembang menyan
beralih fokus dan bergegas menuju sumber suara. Ternyata tangisan itu dari mbok
Darmi, dia menangis sembari tangannnya mencengkram kuat-kuat lengan anak
perempuannya. Berbagai pertnyaan dilontarkan beberapa orang, tapi mbok Darmi
tetap saja menangis menjerit menjadi-jadi, membuat semua orang yang ada di sekelilingnya
ikut panik.
“Arum..... Arum sudah tak bernafas lagi.” Teriak mbok Darmi menjelaskan.
Sontak warga seketika tercengan tak menyangka Arum meninggal secara
tiba-tiba. “Ini pasti ada kaitannya dengan kembang menyan yang ada di samping
jembatan tadi.” Gumam salah satu warga yang di ikuti dengan desas-desus lirih
silih berganti menyetujui. Salah seorang lagi bergegas lari menuju rumah tetuah
desa melaporkan kejadia itu.
Setibanya tetuah di rumah mbok Darmi keadan sudah riuh ramai
bergemuruh. “Arum menjadi korban tumbal dukun santet.” Celetuk tetuah pada sekerumunan
warga. “Besok, kita harus mengadakan upacara sesembahan kembang tujuh rupa dan
darah ayam jago untuk keamanan desa kita agar desa kita terlindungi dan tidak
ada korban lagi.” Cetus tetuah desa. Lagi-lagi kerumunan itu bergemuruh riuh
entah apa yang mereka bicarakan, suaranya begitu lirih tak bisa ku mengerti.
Sebagian lagi hanya menganggukan kepala mengiyakan apa yang di tuturkan tetuah
desa.
********
Keesokan harinya semua warga sudah berkumpul di pinggir jembatan,
sementara kembang menyan misterius itu masih dibiarkan utuh tanpa ada satu
orang pun yang berani menyentuhnya. Upacara dipimpin langsung oleh tetuah desa,
sesajen dan kembang tujuh rupa diletakkan di pinggir kembang menyan misterius,
kemudian ayam-ayam jago dipotong dan darahnya di taruh dalam cawan antik.
Sementara gadis-gadis muda menari-nari sejadi-jadinya seperti kesurupan,
menambah suasana menjadi semakin mencekam.
Dupa dinyalakan, tetuah memulai membacakan mantra yang entah apa
aku tak mengerti, bahkan mungkin tidak ada yang mengerti yang di ucapakan kecuali
tetuah itu sendiri. Setelah mantra selesai dikomat-kamitkan. cawan yang berisikan
darah ayam kemudian disiramkan di atas kembang menyan misterius, seketika angin
bergemuruh menyambar dan memporak-porandakan apa saja yang menghalanginya,
tempat sajen meledak bagai ranjau yang terinjak musuh menghempaskan semua yang
ada di dekatnya termasuk juga tetuah yang terhempas dan seketika juga ia
meninggal dunia menyisakan ketakutan dan trauma yang teramat dalam bagi
masyarakat.
Setelah kejadian itu, keadaan desa menjadi semakin mencekam. Setiap
malam yang menyambut, tak ada yang berani keluar rumah, semua warga bersembunyi
di balik dinding-dinding bambu, bahkan suara-suara jangkrik tak lagi terdengar,
yang ada hanya suara ketakutan memekik telinga.
Hampir setiap pagi ada korban jiwa yang meninggal secara misterius,
kali ini bukan anak-anak gadis yang menjadi korban, namun setiap laki-laki dari
yang masih anak-anak hingga yang sudah menua. Wanita-wanita banyak yang menjada,
suasana begitu lengang, kebahagiaan berubah menjadi tatapan mata penuh dengan
ketakutan yang teramat dalam.
Tak ada jalan keluar, tetuah sudah meninggal. Jika ada yang pergi
dari desa, maka pilihannya hanya ada dua, hidup namun menjadi gila, atau mati secara
misterius setelah menginjakkan kaki di luar perbatasan kampung.
Orang-orang masih sibuk dengan pertanyaan yang menumpuk di kepala
mereka dan tak juga menemukan jawaban. Apakah yang terjadi dengan desa kita?
Apakah desa kita terkena kutukan leluhur?
Keadaan mulai berangsur pulih normal kembali. Mereka mulai bangkit
dan mencoba melupakan kejadian-kejadian yang menakutkan yang menimpa mereka.
Suara bising teriakan petani yang menyapa mulai terdengar, riuh tawa anak-anak
menutup kebisuan. Tak disangka suara gemuruh dari balik bukit mengikuti semangat
mereka, semua mata tertuju mengarah pada balik bukit, semangat menjadi was-was,
hanya hitungan detik, tak ada waktu lagi seketika bola api menghempas ke tanah
pijakan mereka, meluluh lantakkan semua, wajah-wajah hangus terbakar nyala api
dari langit. Tak ada yang tersisa, pagi itu adalah pagi terakhir mereka saling
sapa dan tersenyum.
Oleh :Bisarul Ihsan, Bojonegoro 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar